Nama :
Anggy Trianty
NPM :
10211908
Kelas : 4 EA 25
Kelompok 1
Teori Etika Utilitarianisme Dalam
Bisnis
Kemunculan teori utilitarianisme
merupakan pengembangan dari pemahaman etika teleologi yang dikembangkan
terutama oleh tokoh-tokoh besar pemikiran etika dari Eropa seperti Jeremy
Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873) (Ludigdo, 2007). Etika teleologi ini,
juga dikenal sebagai etika konsekuensialisme, yang memiliki pandangan mendasar
bahwa suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan tujuan atau akibat
dilakukannya tindakan tersebut. Namun dalam pemahamannya tidak mudah untuk
menilai baik buruknya tujuan atau akibat dari suatu tindakan dalam kerangka
etika, sehingga muncullah varian darinya yaitu egoisme dan utilitarianisme.
Etika egoisme menilai baik buruknya tindakan dari tujuan dan manfaat tindakan
tersebut bagi pribadi-pribadi. Pada akhirnya egoisme cenderung menjadi
hedonisme, karena setiap manfaat atas suatu tindakan pribadi-pribadi yang
berdasarkan kebahagian dan kesenangan demi memajukan dirinya sendiri tersebut
biasanya bersifat lahriah dan diiukur berdasarkan materi.
Nilai
positif Utilitarianisme terletak pada sisi rasionalnya dan
universalnya. Rasionalnya adalah kepentingan orang banyak lebih berharga
daripada kepentingan individual. secara universal semua pebisnis dunia saat ini
berlomba-lomba mensejahterakan masyarakat dunia, selain membuat diri mereka
menjadi sejahtera. berbisnis untuk kepentingan individu dan di saat yang
bersamaan mensejahterakan masyarakat luas adalah pekerjaan profesional sangat
mulia. dalam teori sumber daya alam dikenal istilah Backwash Effect, yaitu di
mana pemanfaatan sumber daya alam yang terus menerus akan semakin merusaka
kualitas sumber daya alam itu sendiri, sehingga diperlukan adanya upaya
pelastarian alam supaya sumber daya alam yang terkuras tidak habis ditelan
jaman.
Di
dalam analisa pengeluaran dan keuntungan perusahaan memusatkan bisnisnya untuk
memperoleh keuntungan dari pada kerugian. Proses bisnis diupayakan untuk selalu
memperoleh profit daripada kerugian. Keuntungan dan kerugian tidak hanya
mengenai finansial, tapi juga aspek-aspek moral seperti halnya mempertimbangkan
hak dan kepentingan konsumen dalam bisnis. Dalam dunia bisnis dikenal corporate
social responsibility, atau tanggung jawab social perusahaan. Suatu pemikiran
ini sejalan dengan konsep Utilitarianisme, karena setiap perusahaan mempunyai
tanggaung jawab dalam mengembangkan dan menaikan taraf hidup masyarakat secara
umum, karena bagaimanapun juga setiap perusahaan yang berjalan pasti
menggunakan banyak sumber daya manusia dan alam, dan menghabiskan daya guna
sumber daya tersebut.
Kesulitan
dalam penerapan Utilitarianisme yang mengutamakan kepentingan masyarakat luas
merupakan sebuah konsep bernilai tinggi, sehingga dalam praktek bisnis
sesungguhnya dapat menimbulkan kesulitan bagi pelaku bisnis. misalnya dalam
segi finansial perusahaan dalam menerapkan konsep Utilitarianisme tidak terlalu
banyak mendapat segi manfaat dalam segi keuangan, manfaat paling besar adalah
di dalam kelancaran menjalankan bisnis, karena sudah mendapat ‘izin’ dari
masyrakat sekitar, dan mendapat citra positif di masyarakat umum. namun dari
segi finansial, Utilitarianisme membantu (bukan menambah) peningkatan pendapat
perusahaan.
Terlepas dari daya tariknya, teori
utilitarianisme juga mempunyai kelemahan, antara lain:
a) Manfaat
merupakan konsep yang kompleks sehingga penggunaannya sering menimbulkan
kesulitan. Masalah konsep manfaat ini dapat mencakup persepsi dari manfaat itu
sendiri yang berbeda-beda bagi tiap orang dan tidak semua manfaat yang dinilai
dapat dikuantifikasi yang berujung pada persoalan pengukuran manfaat itu
sendiri.
b) Utilitarianisme
tidak mempertimbangkan nilai suatu tindakan itu sendiri, dan hanya
memperhatikan akibat dari tindakan itu. Dalam hal ini utilitarianisme dianggap
tidak memfokuskan pemberian nilai moral dari suatu tindakan, melainkan hanya
terfokus aspek nilai konsekuensi yang ditimbulkan dari tindakan tersebut.
Sehingga dapat dikatakan bahwa utilitarianisme tidak mempertimbangkan motivasi
seseorang melakukan suatu tindakan.
c) Kesulitan untuk menentukan prioritas
dari kriteria etika utilitarianisme itu sendiri, apakah lebih mementingkan
perolehan manfaat terbanyak bagi sejumlah orang atau jumlah terbanyak dari
orang-orang yang memperoleh manfaat itu walaupun manfaatnya lebih kecil.
d) Utilitarianisme
hanya menguntungkan mayoritas. Dalam hal ini suatu tindakan dapat dibenarkan
secara moral sejauh tindakan tersebut menguntungkan sebagian besar orang,
walaupun mungkin merugikan sekelompok minoritas. Dengan demikian,
utilitarianisme dapat dikatakan membenarkan ketidakadilan, yaitu bagi kelompok
yang tidak memperoleh manfaat.
Mengingat disatu pihak
utilitarianisme memiliki keunggulan dan nilai positif yang sangat jelas, tetapi
di pihak lain punya kelemahan-kelemahan tertentu yang sangat jelas pula, karena hal inilah muncul berbagai perdebatan atas
kelemahan tersebut, maka diusulkan utililtarsime dibedakan menjadi dua macam
Salah satu pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah
dikenalkannya pembedaan antara utilitarianisme-aturan (rule-utilitarian), dan
utilitarianisme-tindakan (act-utilitarian) (Bertens, 2000).
Utilitarian-tindakan berpendapat
bahwa prinsip dasar utilitarianisme (manfaat terbesar bagi jumlah orang
terbesar) diterapkan dalam perbuatan. Prinsip dasar tersebut dipakai untuk
menilai kualitas moral suatu perbuatan. Sedangkan utilitarian-aturan
berpendapat bahwa suatu aturan moral umum lebih layak digunakan untuk menilai
suatu tindakan. Ini berarti yang utama bukanlah apakah suatu tindakan
mendatangkan manfaat terbesar bagi banyak orang, melainkan yang pertama-tama
ditanyakan apakah tindakan itu memang sesuai dengan aturan moral yang harus
diikuti oleh semua orang. Jadi manfaat terbesar bagi banyak orang merupakan
kriteria yang berlaku setelah suatu tindakan dibenarkan menurut kaidah moral
yang ada. Oleh karena itu, dalam situasi dimana kita perlu mengambil kebijakan
atau tindakan berdasarkan teori etika utilitarianisme, perlu menggunakan
perasaan atau intuisi moral kita untuk mempertimbangkan secara jujur apakah
tindakan yang kita ambil memang manusiawi atau tidak terlepas dari perbedaan
persepsi akan konsep manfaat itu sendiri, apakah kita membenarkan tindakan dengan
manfaat yang telah kita perkirakan itu.